Kota tapaktuan. Banyak yang bilang kalau di kota itu penuh legenda. Terutama legenda seekor naga yang dibunuh seorang pertapa sakti yang kesohor itu. Begitulah cerita yang kudengar dari kakek, membuat kota ini sangat dikenal dengan sebutan kota Naga. Padahal kota ini sebenarnya bernama Tapak Tuan, itu pun berdasarkan legenda pertapa sakti tadi yang meninggalkan sebelah tapaknya di kota itu.
Konon katanya pertapa sakti itu kembali keluar dari persembuanyiannya sehari sebelum banjir besar datang menghantam seluruh kota. Pertapa itu kembali menampakkan kesaktiannya sehingga kota itu bebas dari hantaman gelombang laut. Padahal seluruh kota di propinsi ini babak belur, tapi kota itu masih utuh. Ya, katanya pertapa itu yang menyelamatkan orang orang dan kota itu. Inilah yang membuat aku sangat tertarik berkunjung ke kota ini. Aku sendiri berasal dari Medan. Meski masih banyak kota kota kecil di Medan yang selamat dari amuk gelombang raya, aku tak mendapatkan cerita apa apa dari kotaku. Tapi di kota ini?
Mobil mini yang kami tumpangi terus melaju. Terkadang aku menutup mata ketika mobil kami oleng ke kanan dan ke kiri. Sebelumnya kami telah melewati gunung kapur, jalan yang melintas dari Subussalam ke tapak Tuan. Tapi sunguh sangat berbeda. Meski sama sama gunung yang tinggi, namun jalan di gunung ini sangat membuat aku ketakutan. Tekongannya patah patah. Jalannya lebih sempit dari jalan di gunung Kapur.
Aku tak tahu apakah penumpang lain merasakan kengerian yang kurasakan. Tapi aku melihat mereka biasa biasa saja. Mungkin mereka telah terbiasa dengan keadaan seperti ini.
�Pak, apakah gunung ini masih panjang?� Tanyaku pada penumpang di sebelah.
�Baru saja satu gunung yang kita lewati. Masih ada dua gunung besar lagi dan dua gunung kecil yang harus kita lewati.�
Aku terdiam. Keningku mengernyit mendengar penjelasan bapak itu.
�Kenapa, Nak? Kau hendak kemana?�
�Ah, nggak kenapa napa, aku cuma sedikit pening, di kiri gunung di kanan laut. Aku hendak ke kota Naga, masih jauh, Pak?�
�Setelah kita melewati tiga gunung yang kusebutkan tadi, kita baru sampai ke kota. Ya, jalan di gunung ini memang berbelok belok, ini namanya gunung Kerambi. Kalau kau pernah mendengar lagu Aceh Selatan yang dibawakan Syahlotan, kau pasti sudah tau tentang gunung ini.�
Ya, aku pernah dengar nama dan lagu itu, bathinku. Teryata apa yang dikatakan dalam lagu itu benar adanya.
�Oh ya, nampaknya kau bukan dari daerah sini.�
�Aku dari Medan, Pak.� Ujarku singkat.
�O�pantas saja kau merasa pening. Belum biasa. Nanti juga setelah biasa kau akan merasakan kenikmatan perjalanan ini. Coba lihat ke bawah sana, indah bukan? Itu laut Hindia. Di bawah sana juga ada sebuah gua tempat Tuan Tapa bertapa.�
�Jadi cerita tentang pertapa sakti itu benar, Pak?� Tanyaku penasaran dan penuh semangat.
�Tentu saja benar. Dahulu di sini pernah hidup sepasang naga. Naga itu mempunyai seorang putri yang jelita.� Bapak tua itu mulai berkisah.
Suatu hari anak naga itu sedang mandi di laut. Ketika itu sebuah kapal pesiar melintas. Awak kapal dikejutkan dengan kehadiran seorang putri yang asyik mandi. Mereka tak tahu kalau orangtua si putri sepasang naga yang ada dalam gua. Kebetulan waktu itu sang Naga sedang tidur pulas.
Singkat cerita, nakhoda kapal memerintahkan anak buahnya menangkap putri itu dengan hati hati, niatnya hendak dijadikan istrinya. Ketika mereka mendekat, baru sadar jika dekat putri mandi itu ada gua yang dihuni naga tidur. Dengan cepat mereka melarikan putri yang tengah asik mandi tadi.
Merasa dirinya dicuri, sang Putri menjerit. Jeritannya sempat didengar induknya. Spontan saja naga terbangun dari tidurnya. Dan ketika di dapatinya putrinya tak ada lagi di sampingnya, naga ini ke luar dari dalam gua.
Sesampainya di luar, naga masih sempat melihat sebuah kapal. Dari kapal itu naga mendengar jeritan putrinya. Menyadari putrinya diculik, naga mengamuk, mengejar kapal. Dia menghempaskan ekornya ke kiri dan ke kanan. Bunyi hempasan ekor naga dan gelombang laut yang semakin besar akibat hempasannya, membuat seorang pertapa yang sudah bertahun tahun di salam gua terjaga dari semedinya.
Pertapa ini sangat sakti. Badannya besar melebihi manusia biasa. Dia mempunyai telapak yang juga sangat besar, layak kita sebut raksasa. Tapaknya masih ada dekat gua pertapaanya, itu adalah langkahnya yang pertama ketika turun gua, sehingga meninggalkan bekas di tempat itu. Karena itulah kota ini dikatakan orang Tapak Tuan atau kota Naga.
Pertapa itu menggenggam sebuah tongkat di tangannya. Ia mengejar naga yang mengamuk itu dan melibasnya dengan tongkatnya. Hingga kepala naga itu terpental. Konon hati naga itu menjadi batu, yang sekarang menjadi nama sebuah kampung yang dikenal orang dengan sebuatan Batu Hitam. Dan darahnya di abadikan menjadi nama sebuah kampung juga, Batu Merah. Kini kampung kampung itu masih ada, sebentar lagi juga kita akan sampai di Batu Hitam.
Aku mengangguk mendengar semua penjelasan bapak itu. �Apakah pertapa sakti itu pernah keluar lagi dari pertapaannya setelah kejadian itu?� tanyaku kemudian.
�Ya, pertapa itu yang kini disebut orang sebagai Tuan Tapa pernah keluar lagi. Tepatnya sehari sebelum air laut naik.�
�Apakah itu benar?�
�Semua orang mungkin tak percaya, tapi ada saksi mata yang melihatnya.� Bapak itu berusaha meyakinkanku.
�Suatu siang, sehari sebelum banjir datang, pertapa itu ke luar dari guanya. Dia berdoa di pinggir pantai. Sementara itu di tengah laut, tiga orang berpakaian serba putih merentangkan tangan. Menurut cerita tetua di sini, mereka adalah kawan kawan si Tuan Tapa. Mereka menahan air laut agar tidak naik ke darat. Walhasil, cerita itu dibenarkan semua orang, sebab benar adanya, kota kecil yang terdapat dipinggir laut ini selamat dari amuk gelombang. Padahal banyak yang mengira kalau kota ini akan karam, melihat ibu kota propinsi saja yang jauh dari laut bisa hancur. Tapi itulah kenyataan di sini, kota ini selamat.�
Rasa takjub dan kurang percaya merasuk di dadaku, menjadi satu. Akan tetapi aku hanya diam. Aku mengamati wajah bapak yang bercerita itu. Wajah itu menggambarkan keseriusan. Kemudian aku kembali mengalihkan pandangan ke arah laut. Kuamati riak gelombang biru yang tenang itu sambil menyandarkan pundakku ke sandaran job.
Rasa mual yang tadi hampir saja ke luar, kembali masuk ke perutku setelah mendengar cerita bapak di sampingku ini. Perlahan kubayangkan semua yang kudengar tadi sambil memejamkan mata. Aku membayangkan, andai saja pertapa sakti itu ada di Banda, pasti air laut takkan sampai menenggelamkan ibu kota propinsi serambi Mekah. Andai pertapa itu ada di kotaku�
Mobil mini yang kami tumpangi terus melaju. Terkadang aku menutup mata ketika mobil kami oleng ke kanan dan ke kiri. Sebelumnya kami telah melewati gunung kapur, jalan yang melintas dari Subussalam ke tapak Tuan. Tapi sunguh sangat berbeda. Meski sama sama gunung yang tinggi, namun jalan di gunung ini sangat membuat aku ketakutan. Tekongannya patah patah. Jalannya lebih sempit dari jalan di gunung Kapur.
Aku tak tahu apakah penumpang lain merasakan kengerian yang kurasakan. Tapi aku melihat mereka biasa biasa saja. Mungkin mereka telah terbiasa dengan keadaan seperti ini.
�Pak, apakah gunung ini masih panjang?� Tanyaku pada penumpang di sebelah.
�Baru saja satu gunung yang kita lewati. Masih ada dua gunung besar lagi dan dua gunung kecil yang harus kita lewati.�
Aku terdiam. Keningku mengernyit mendengar penjelasan bapak itu.
�Kenapa, Nak? Kau hendak kemana?�
�Ah, nggak kenapa napa, aku cuma sedikit pening, di kiri gunung di kanan laut. Aku hendak ke kota Naga, masih jauh, Pak?�
�Setelah kita melewati tiga gunung yang kusebutkan tadi, kita baru sampai ke kota. Ya, jalan di gunung ini memang berbelok belok, ini namanya gunung Kerambi. Kalau kau pernah mendengar lagu Aceh Selatan yang dibawakan Syahlotan, kau pasti sudah tau tentang gunung ini.�
Ya, aku pernah dengar nama dan lagu itu, bathinku. Teryata apa yang dikatakan dalam lagu itu benar adanya.
�Oh ya, nampaknya kau bukan dari daerah sini.�
�Aku dari Medan, Pak.� Ujarku singkat.
�O�pantas saja kau merasa pening. Belum biasa. Nanti juga setelah biasa kau akan merasakan kenikmatan perjalanan ini. Coba lihat ke bawah sana, indah bukan? Itu laut Hindia. Di bawah sana juga ada sebuah gua tempat Tuan Tapa bertapa.�
�Jadi cerita tentang pertapa sakti itu benar, Pak?� Tanyaku penasaran dan penuh semangat.
�Tentu saja benar. Dahulu di sini pernah hidup sepasang naga. Naga itu mempunyai seorang putri yang jelita.� Bapak tua itu mulai berkisah.
Suatu hari anak naga itu sedang mandi di laut. Ketika itu sebuah kapal pesiar melintas. Awak kapal dikejutkan dengan kehadiran seorang putri yang asyik mandi. Mereka tak tahu kalau orangtua si putri sepasang naga yang ada dalam gua. Kebetulan waktu itu sang Naga sedang tidur pulas.
Singkat cerita, nakhoda kapal memerintahkan anak buahnya menangkap putri itu dengan hati hati, niatnya hendak dijadikan istrinya. Ketika mereka mendekat, baru sadar jika dekat putri mandi itu ada gua yang dihuni naga tidur. Dengan cepat mereka melarikan putri yang tengah asik mandi tadi.
Merasa dirinya dicuri, sang Putri menjerit. Jeritannya sempat didengar induknya. Spontan saja naga terbangun dari tidurnya. Dan ketika di dapatinya putrinya tak ada lagi di sampingnya, naga ini ke luar dari dalam gua.
Sesampainya di luar, naga masih sempat melihat sebuah kapal. Dari kapal itu naga mendengar jeritan putrinya. Menyadari putrinya diculik, naga mengamuk, mengejar kapal. Dia menghempaskan ekornya ke kiri dan ke kanan. Bunyi hempasan ekor naga dan gelombang laut yang semakin besar akibat hempasannya, membuat seorang pertapa yang sudah bertahun tahun di salam gua terjaga dari semedinya.
Pertapa ini sangat sakti. Badannya besar melebihi manusia biasa. Dia mempunyai telapak yang juga sangat besar, layak kita sebut raksasa. Tapaknya masih ada dekat gua pertapaanya, itu adalah langkahnya yang pertama ketika turun gua, sehingga meninggalkan bekas di tempat itu. Karena itulah kota ini dikatakan orang Tapak Tuan atau kota Naga.
Pertapa itu menggenggam sebuah tongkat di tangannya. Ia mengejar naga yang mengamuk itu dan melibasnya dengan tongkatnya. Hingga kepala naga itu terpental. Konon hati naga itu menjadi batu, yang sekarang menjadi nama sebuah kampung yang dikenal orang dengan sebuatan Batu Hitam. Dan darahnya di abadikan menjadi nama sebuah kampung juga, Batu Merah. Kini kampung kampung itu masih ada, sebentar lagi juga kita akan sampai di Batu Hitam.
Aku mengangguk mendengar semua penjelasan bapak itu. �Apakah pertapa sakti itu pernah keluar lagi dari pertapaannya setelah kejadian itu?� tanyaku kemudian.
�Ya, pertapa itu yang kini disebut orang sebagai Tuan Tapa pernah keluar lagi. Tepatnya sehari sebelum air laut naik.�
�Apakah itu benar?�
�Semua orang mungkin tak percaya, tapi ada saksi mata yang melihatnya.� Bapak itu berusaha meyakinkanku.
�Suatu siang, sehari sebelum banjir datang, pertapa itu ke luar dari guanya. Dia berdoa di pinggir pantai. Sementara itu di tengah laut, tiga orang berpakaian serba putih merentangkan tangan. Menurut cerita tetua di sini, mereka adalah kawan kawan si Tuan Tapa. Mereka menahan air laut agar tidak naik ke darat. Walhasil, cerita itu dibenarkan semua orang, sebab benar adanya, kota kecil yang terdapat dipinggir laut ini selamat dari amuk gelombang. Padahal banyak yang mengira kalau kota ini akan karam, melihat ibu kota propinsi saja yang jauh dari laut bisa hancur. Tapi itulah kenyataan di sini, kota ini selamat.�
Rasa takjub dan kurang percaya merasuk di dadaku, menjadi satu. Akan tetapi aku hanya diam. Aku mengamati wajah bapak yang bercerita itu. Wajah itu menggambarkan keseriusan. Kemudian aku kembali mengalihkan pandangan ke arah laut. Kuamati riak gelombang biru yang tenang itu sambil menyandarkan pundakku ke sandaran job.
Rasa mual yang tadi hampir saja ke luar, kembali masuk ke perutku setelah mendengar cerita bapak di sampingku ini. Perlahan kubayangkan semua yang kudengar tadi sambil memejamkan mata. Aku membayangkan, andai saja pertapa sakti itu ada di Banda, pasti air laut takkan sampai menenggelamkan ibu kota propinsi serambi Mekah. Andai pertapa itu ada di kotaku�
ok lah!!!
BalasHapus