kota naga

kota naga
dragon city

Minggu, 27 Maret 2011

Buah pala tanaman khas tapaktuan

Semua orang pasti mengenal buah pala, pohonnya tergolong tinggi hingga mencapai 15 meter. Ketika musim berbuah, pohon pala akan kelihatan indah, karena buahnya bergerombol berwarna hijau kekuning-kuningan. Bagi sebagian ibu rumah tangga, buah pala termasuk salah satu menu untuk meramu bumbu masakan. Di pulau Sumatera penghasil buah pala terbaik ada di daerah Tapak Tuan Kabupaten Aceh Selatan Propinsi Aceh.
BEBERAPA waktu yang lalu MedanBisnis sengaja singgah ke Tapak Tuan. Selain penghasil buah pala kota Tapak Tuan juga memiliki panorama keindahan laut yang masih asri. Siapa pun pasti terpesona ketika melintas di kota Tapak Tuan menuju kota Meulaboh. Kota dengan pesona bahari ini, berada di antara pegunungan dan bukit kaki Bukit Barisan. Karena daerah pegunungan, tak heran tanaman pala tumbuh subur sejak puluhan tahun yang lalu. Dan kini dimanfaatkan masyarakat setempat menjadi komoditas dan usaha kecil manisan.

Berjalan mengitari dan menikmati kota Tapak Tuan, kami pun sampai di sebuah perkampungan yakni Kampung Hilir yang berada di sebelah Timur Kota Tapak Tuan. Hampir sebagian masyarakat di kampung ini memanfaatkan buah pala menjadi peluang bisnis dan penghasilan keluarga. Buah pala diolah menjadi manisan yang siap dijual. Salah satu yang terbesar adalah usaha manisan buah pala "Mestika".

Usaha ini dirintis oleh seorang ibu rumah tangga Yusnida (45). Melalui resep tradisional yang didapat secara turun temurun, buah pala diolah menjadi manisan dan diekspor ke berbagai daerah di Propinsi Aceh dan sebagian di pulau Sumatera.Yusnida mengaku tidak pernah terlintas di benaknya membangun usaha kecil pengolahan buah pala. Namun kini berkat kesabaran dan kesungguhan hati, setiap hari ratusan kilogram buah pala diolah dan dijadikan manisan untuk dikirim ke berbagai daerah yang membutuhkan.

“Nggak pernah terlintas di pikiran saya akan membuka usaha seperti ini. Namun karena suami saya terkena PHK dari pekerjaan pabrik, saya pun berniat menjalani usaha kecil-kecilan. Awalnya saya memang sudah ada pengalaman, mengolah buah pala yang didapat dari orang tua. Dengan pengalaman dan modal yang kecil saya pun meyakinkan diri untuk membesarkan usaha manisan buah pala ini,” ujar Yusnida kepada MedanBisnis.

Pernah Terancam
Usaha kecil manisan buah pala Mestika ini, sudah dijalani oleh Yusnida selama lebih kurang 5 tahun. Pahit dan manisnya dalam menjalani usaha ini telah dilaluinya, termasuk ancaman hampir gulung tikar, ketika peristiwa gempa dan tsunami pada tahun 2004 yang lalu. Namun dengan semangat dan doa, ibu 3 orang anak ini pun berhasil melewati dan terus menafkahi keluarga.
Kini di awal tahun 2011, usaha manisan buah pala telah membawa hasil yang cukup menjanjikan.

Meskipun sistem pengolahannya masih menggunakan peralatan yang sangat sederhana, namun hasil olahan manisan buah pala Mestika, telah dikenal hampir di seluruh Propinsi Aceh. Bahkan kemasan dan penyajian manisan buah pala Mestika juga tergolong sangat ekonomis, dan banyak menarik minat dari berbagai kalangan masyarakat.

Selain itu harga yang ditawarkan juga disesuaikan dengan mekanisme pasar tradisional. Sehingga siapa pun dapat menikmati dan merasakan segarnya manisan buah pala. Untuk manisan buah pala dalam kemasan kecil, dapat di peroleh dengan harga Rp 3.000 per bungkusnya. Sedangkan manisan buah pala dengan kemasan besar, dihargai dengan Rp 4.000 rupiah untuk setiap bungkus. 

“Ketika peristiwa tsunami usaha manisan ini hampir saja tutup, karena banyak langganan yang meninggal dan belum sempat membayar orderan. Namun dengan doa dan semangat yang tersisa, saya mencoba berdiri kembali. Saat ini ada ini beberapa jenis manisan pala yang saya buat, semuanya dengan harga yang terjangkau,” jawab Yusnida.

Buah pala memang banyak memberi manfaat bagi masyarakat kota Tapak Tuan. Bahkan saat ini selain diolah menjadi manisan, buah pala juga dapat diolah menjadi sirup minuman segar. Usaha manisan Mestika juga telah memiliki pelanggan sirup minuman segar buah pala tanpa bahan pengawet.

Untuk proses pengerjaannya, Yusnida mempekerjakan remaja yang tergolong dari keluarga kurang mampu. Para remaja inilah yang mengemas seluruh manisan dan sirup buah pala, untuk dipasarkan ke berbagai tempat. Karena masih membutuhkan modal, proses pembuatannya juga masih mengandalkan peralatan sederhana.

“Selain manisan, saya juga mencoba mengolah buah pala menjadi sirup minuman segar tanpa bahan pengawet. Sirup buah pala cukup baik dikonsumsi untuk kesehatan dan pencernaan tubuh. Alhamdulilah, banyak juga yang menyukai sirup dari buah pala ini," sebut Yusnida.

Dari perjalanan MedanBisnis ke kota Tapak Tuan, ternyata banyak yang dapat dilakukan dalam kehidupan ini. Termasuk memanfaatkan buah pala dari hasil yang diberikan alam, dengan begitu maka akan tercipta keseimbangan antara alam dan manusia.

kesaksian seorang masyarakat medan akan kota tapaktuan

                 Kota tapaktuan. Banyak yang bilang kalau di kota itu penuh legenda. Terutama legenda seekor naga yang dibunuh seorang pertapa sakti yang kesohor itu. Begitulah cerita yang kudengar dari kakek, membuat kota ini sangat dikenal dengan sebutan kota Naga. Padahal kota ini sebenarnya bernama Tapak Tuan, itu pun berdasarkan legenda pertapa sakti tadi yang meninggalkan sebelah tapaknya di kota itu.
Konon katanya pertapa sakti itu kembali keluar dari persembuanyiannya sehari sebelum banjir besar datang menghantam seluruh kota. Pertapa itu kembali menampakkan kesaktiannya sehingga kota itu bebas dari hantaman gelombang laut. Padahal seluruh kota di propinsi ini babak belur, tapi kota itu masih utuh. Ya, katanya pertapa itu yang menyelamatkan orang orang dan kota itu. Inilah yang membuat aku sangat tertarik berkunjung ke kota ini. Aku sendiri berasal dari Medan. Meski masih banyak kota kota kecil di Medan yang selamat dari amuk gelombang raya, aku tak mendapatkan cerita apa apa dari kotaku. Tapi di kota ini?
Mobil mini yang kami tumpangi terus melaju. Terkadang aku menutup mata ketika mobil kami oleng ke kanan dan ke kiri. Sebelumnya kami telah melewati gunung kapur, jalan yang melintas dari Subussalam ke tapak Tuan. Tapi sunguh sangat berbeda. Meski sama sama gunung yang tinggi, namun jalan di gunung ini sangat membuat aku ketakutan. Tekongannya patah patah. Jalannya lebih sempit dari jalan di gunung Kapur.
Aku tak tahu apakah penumpang lain merasakan kengerian yang kurasakan. Tapi aku melihat mereka biasa biasa saja. Mungkin mereka telah terbiasa dengan keadaan seperti ini.
�Pak, apakah gunung ini masih panjang?� Tanyaku pada penumpang di sebelah.
�Baru saja satu gunung yang kita lewati. Masih ada dua gunung besar lagi dan dua gunung kecil yang harus kita lewati.�
Aku terdiam. Keningku mengernyit mendengar penjelasan bapak itu.
�Kenapa, Nak? Kau hendak kemana?�
�Ah, nggak kenapa napa, aku cuma sedikit pening, di kiri gunung di kanan laut. Aku hendak ke kota Naga, masih jauh, Pak?�
�Setelah kita melewati tiga gunung yang kusebutkan tadi, kita baru sampai ke kota. Ya, jalan di gunung ini memang berbelok belok, ini namanya gunung Kerambi. Kalau kau pernah mendengar lagu Aceh Selatan yang dibawakan Syahlotan, kau pasti sudah tau tentang gunung ini.�
Ya, aku pernah dengar nama dan lagu itu, bathinku. Teryata apa yang dikatakan dalam lagu itu benar adanya.
�Oh ya, nampaknya kau bukan dari daerah sini.�
�Aku dari Medan, Pak.� Ujarku singkat.
�O�pantas saja kau merasa pening. Belum biasa. Nanti juga setelah biasa kau akan merasakan kenikmatan perjalanan ini. Coba lihat ke bawah sana, indah bukan? Itu laut Hindia. Di bawah sana juga ada sebuah gua tempat Tuan Tapa bertapa.�
�Jadi cerita tentang pertapa sakti itu benar, Pak?� Tanyaku penasaran dan penuh semangat.
�Tentu saja benar. Dahulu di sini pernah hidup sepasang naga. Naga itu mempunyai seorang putri yang jelita.� Bapak tua itu mulai berkisah.
Suatu hari anak naga itu sedang mandi di laut. Ketika itu sebuah kapal pesiar melintas. Awak kapal dikejutkan dengan kehadiran seorang putri yang asyik mandi. Mereka tak tahu kalau orangtua si putri sepasang naga yang ada dalam gua. Kebetulan waktu itu sang Naga sedang tidur pulas.
Singkat cerita, nakhoda kapal memerintahkan anak buahnya menangkap putri itu dengan hati hati, niatnya hendak dijadikan istrinya. Ketika mereka mendekat, baru sadar jika dekat putri mandi itu ada gua yang dihuni naga tidur. Dengan cepat mereka melarikan putri yang tengah asik mandi tadi.
Merasa dirinya dicuri, sang Putri menjerit. Jeritannya sempat didengar induknya. Spontan saja naga terbangun dari tidurnya. Dan ketika di dapatinya putrinya tak ada lagi di sampingnya, naga ini ke luar dari dalam gua.
Sesampainya di luar, naga masih sempat melihat sebuah kapal. Dari kapal itu naga mendengar jeritan putrinya. Menyadari putrinya diculik, naga mengamuk, mengejar kapal. Dia menghempaskan ekornya ke kiri dan ke kanan. Bunyi hempasan ekor naga dan gelombang laut yang semakin besar akibat hempasannya, membuat seorang pertapa yang sudah bertahun tahun di salam gua terjaga dari semedinya.
Pertapa ini sangat sakti. Badannya besar melebihi manusia biasa. Dia mempunyai telapak yang juga sangat besar, layak kita sebut raksasa. Tapaknya masih ada dekat gua pertapaanya, itu adalah langkahnya yang pertama ketika turun gua, sehingga meninggalkan bekas di tempat itu. Karena itulah kota ini dikatakan orang Tapak Tuan atau kota Naga.
Pertapa itu menggenggam sebuah tongkat di tangannya. Ia mengejar naga yang mengamuk itu dan melibasnya dengan tongkatnya. Hingga kepala naga itu terpental. Konon hati naga itu menjadi batu, yang sekarang menjadi nama sebuah kampung yang dikenal orang dengan sebuatan Batu Hitam. Dan darahnya di abadikan menjadi nama sebuah kampung juga, Batu Merah. Kini kampung kampung itu masih ada, sebentar lagi juga kita akan sampai di Batu Hitam.
Aku mengangguk mendengar semua penjelasan bapak itu. �Apakah pertapa sakti itu pernah keluar lagi dari pertapaannya setelah kejadian itu?� tanyaku kemudian.
�Ya, pertapa itu yang kini disebut orang sebagai Tuan Tapa pernah keluar lagi. Tepatnya sehari sebelum air laut naik.�
�Apakah itu benar?�
�Semua orang mungkin tak percaya, tapi ada saksi mata yang melihatnya.� Bapak itu berusaha meyakinkanku.
�Suatu siang, sehari sebelum banjir datang, pertapa itu ke luar dari guanya. Dia berdoa di pinggir pantai. Sementara itu di tengah laut, tiga orang berpakaian serba putih merentangkan tangan. Menurut cerita tetua di sini, mereka adalah kawan kawan si Tuan Tapa. Mereka menahan air laut agar tidak naik ke darat. Walhasil, cerita itu dibenarkan semua orang, sebab benar adanya, kota kecil yang terdapat dipinggir laut ini selamat dari amuk gelombang. Padahal banyak yang mengira kalau kota ini akan karam, melihat ibu kota propinsi saja yang jauh dari laut bisa hancur. Tapi itulah kenyataan di sini, kota ini selamat.�
Rasa takjub dan kurang percaya merasuk di dadaku, menjadi satu. Akan tetapi aku hanya diam. Aku mengamati wajah bapak yang bercerita itu. Wajah itu menggambarkan keseriusan. Kemudian aku kembali mengalihkan pandangan ke arah laut. Kuamati riak gelombang biru yang tenang itu sambil menyandarkan pundakku ke sandaran job.
Rasa mual yang tadi hampir saja ke luar, kembali masuk ke perutku setelah mendengar cerita bapak di sampingku ini. Perlahan kubayangkan semua yang kudengar tadi sambil memejamkan mata. Aku membayangkan, andai saja pertapa sakti itu ada di Banda, pasti air laut takkan sampai menenggelamkan ibu kota propinsi serambi Mekah. Andai pertapa itu ada di kotaku�